Minggu, 24 November 2013

MENGENAL SISTEM PERKOTAAN

MENGENAL SISTEM PERKOTAAN


Buku ini merupakan suatu pembelajaran yang baik bagi seorang planer dalam membuat suatu rencaa. Bahasa yang sederhana dengan tampilan gambar-gambar yang mudah dimengerti. mudah mudahan buku ini boleh menjadi referensi bagi kita dalam perencanaan suatu kota.....

Rabu, 13 November 2013

Urban Planning for City Leaders

Urban Planning for City Leaders
 
Buku ini diterbitkan oleh UN-Habitat (3,968 Kb) dapat digunakan sebagai salah satu referensi dalam menentukan sektor/ aspek-aspek kota yang perlu diperhatikan untuk direncanakan.

TEORII EKIISTIICS DAN PENATAAN RUANG DI INDONESIA

 TEORII EKIISTIICS DAN PENATAAN RUANG DI INDONESIA
Teori ekstics yang dipelopori oleh Doxiadis (1968) menjadi salah satu landasan utama perencanaan tata ruang di Indonesia. Teori ini mengusulkan dua aspek yang harus diperhatikan dalam perencanaan yaitu content (isidan container (wadah).

Planning sustainable cities: UN-Habitat Practices and Perspectives

Planning sustainable cities: UN-Habitat Practices and Perspectives 


Merencanakan kota bukan hanya untuk masa sekarang tetapi memiliki konsekuensi jangka panjang, bagaimana proses, prosedur dan aspek apa saja yang perlu diperhatikan? bisa ditelusuri lebih dalam di dalam buku ini

Models of Urban Structure

Models of Urban Structure Kota bukan hanya kumpulan dari bangunan dan manusia tetapi juga harus kita tata dengan membentuk/ merencanakan struktur ruangnya. Terdapat 3 model struktur ruang yang selama ini dipelajari yaitu (1) concentric zone model, (2) sector model, dan (3) multiple nuclei model. Teori ini sangat diperlukan di saat kita merencanakan suatu kota sebelum merencanakan tata guna lahan

KUALA LUMPUR STRUCTURE PLAN 2020

Pada kunjungan hari ke 3 dalam KKL di Kuala Lumpur, Malaysia tepatnya di City Hall Kuala Lumpur kami mendapatkan file dokumen KUALA LUMPUR STRUCTURE PLAN 2020. Semoga dapat bermanfaat sebagai pembelajaran bagi kita. Silahkan di download....KUALA LUMPUR STRUCTURE PLAN 2020

 
JALUR HIJAU ATAU PEDESTRIAN
 
Keinginan manusia sering tidak sejalan dengan apa yang telah  direncanakan. Keinginan untuk kelihatan indah namun salah kaprah yang terjadi. Mungkin ini dapat menjawab keinginan dan pertanyaan kita .......JALUR PEJALAN KAKI / PEDESTRIAN PADA JALAN UMUM 

Ekistics, the Science of Human Settlements

Human settlement/ permukiman merupakan embrio pertumbuhan dan perkembangan kota yang terdiri dari 5 elemen yaitu (1) man, (2) society, (3) network, (4) nature, dan (5) shell. Teori ini menjadi salah satu landasan utama mempelajari kota dan perkotaan di Indonesia.
lebih lanjut silahkan download filenya..... Ekistics, the Science of Human Settlements

Kunjungan ke USM, Penang, Malaysia

Ini adalah file presentasi ketika KKL di Penang, Malaysia. semoga bermanfaat bagi kita .....BRIEFING TO USM Students


Sabtu, 28 September 2013

MITIGASI BENCANA GUNUNG DUKONO

METIGASI BENCANA

Indonesia merupakan satu negara kepulauan yang luas, banyak memiliki gunung berapi, terletak antara dua lempengan geologi yang selalu bergerak, hal ini sangat berbahaya sehingga memerlukan upaya mitigasi (pengurangan dampak bencana). Dimulai dari pemetaan daerah hazard vulkano, penyiapan rute evakuasi dan fasilitas shelter, logistik, serta prediksi aliran lava atau lahar dingin dengan berbagai skenario bentuk erupsi. Termasuk pula, pembangunan bendungan sabo untuk mengurangi limpasan lahar dingin jikalau terjadi. Tetapi gunung berapi juga memberikan manfaat yang jauh lebih besar dari bahayanya. Dari sisi tanah vulkanik yang diberikan, tentu memberi manfaat pada sisi pertanian. Belum lagi dari segi bahan tambang dan mineral, serta energi. Halmahera sepertinya menyimpan besar kandungan panas bumi dan tantangan ke depan adalah mengeksplorasi potensi ini untuk dimanfaatkan sebagai alternatif energi yang berkelanjutan, mengurangi ketergantungan kita pada bahan bakar fosil......lebih lanjut klik disini

Selasa, 10 September 2013

BERBAGAI KEUNTUNGAN dari PENAKSIRAN PARTISIPATOR

oleh Doreen Boyd

Di-Edit oleh Phil Bartle, PhD

diterjemahkan oleh Diana Novianti


Beberapa Keuntungannya adalah:
Pelatihan ini akan membuktikan hal-hal yang sudah diketahui tentang suatu komunitas atau justru mengubah informasi salah dan mengetahui cara mereka memandang situasi ketika bukti-bukti nyata diterapkan pada keadaan sekarang.
Survey/ penaksiran komunitas secara profesional dikerjakan oleh mereka sendiri, mulailah proses partisipasi dan motivasi yang vital untuk kelangsungan aktifitas-aktifitas. Orang-orang akan terlibat, dan melewati pemulaian data analisa akan kesadaran terhadap masalah dasar kondisi mereka yang memfasilitaskan pengembangan edukasi di mana pada akhirnya akan balik menciptakan pemahaman anjuran mereka dan mempengaruhi yang berwenang untuk melakukan perubahan yang diperlukan. Hal ini membantu untuk menggerakkan para anggota komunitas dari 'individu' atau pendekatan subyektif menjadi menaksir 'kebutuhan-kebutuhan' menuju pendekatan komunitas yang lebih obyektif.
Selama ini, setidaknya untuk saya, adalah sebuah kesulitan besar di dalam metodologi lain untuk menentukan kebutuhan dan aset dalam sebuah komunitas. Secara alami, mereka akan menjadi subyektif, dalam artian mereka membuat penghakiman berdasarkan sudut pandang mereka sendiri. Ini bukanlah sesuatu yang buruk sekali, tetapi hal ini tetap mengaburkan penemuan dan juga dapat mengecewakan individu-individu ketika kebutuhan 'pribadi' mereka tidak terpenuhi dan dapat berakhir dengan berhenti berpartisipasi.
Hasil laporan survey pelatihan memberikan suatu dokumen yang dapat digunakan pada semua tingkatan, sama seperti penaksiran kemiskinan nasional digunakan, seperti contohnya untuk mengembangkan aksi rencana dan strategi pembasmian kemiskinan yang dirancang khusus untuk kondisi komunitas sesuai dengan penemuan survey, membuat kasus untuk pengubahan kebijakan dan intervensi-intervensi lainnya sehingga menyediakan kesempatan-kesempatan bagi kelompok-kelompok komunitas untuk memberikan pendapat terhadap pembuatan keputusan makro yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka dan yang pada akhirnya untuk membuat kasus untuk mengerahkan sumberdaya untuk melakukan intervensi yang diperlukan.
Berikut adalah beberapa pemikiran berdasarkan pengalaman pribadi saya dalam menjalankan teknik PAR sebagai bagian suatu proses di berbagai belahan dunia.
Biasanya akan diikuti oleh latihan pemetaan komunitas (menggambar peta), di mana banyak contoh memulai proses pembongkaran informasi salah atau kurangnya informasi mengenai hal-hal seperti batas-batas, di mana infrastruktur yang strategis (contoh: toilet dan pipa, pertokoan) terletak. Hal ini akan merujuk pada "penemukan secara pasti" dan dari sana menjadi ide akan survey komunitas.
Berdasarkan pengalaman, saya belum pernah mengalami kejadian di mana seorang anggota komunitas menolak atau tidak mampu untuk melaksanakan latihan setelah mendapatkan pengarahan.
Pemikiran lebih jauh:
Hal utama yang perlu ditekankan kepada para penyelenggara proses ini adalah dibutuhkan untuk mengenal dan mengetahui bahwa ada kemungkinan-kemungkinan luar biasa pada orang-orang yang biasa walaupun ketika mereka hidup dalam kemiskinan. Dengan kata lain, kemiskinan secara materi tidak berarti sama dengan kemiskinan ide, cita-cita, dan asipirasi atau kemampuan untuk menerjemahkan ide menjadi aksi, membuat mimpi dan aspirasi menjadi kenyataan.
Dapat dikatakan, mereka harus memiliki 'iman' terhadap kemampuan orang-orang dan juga pada proses yang mereka selenggarakan.
Banyak ahli yang masih tidak mengerti kebutuhan para anggota komunitas untuk membuat keputusan akan masalah-masalah yang mempengaruhi mereka, tetapi yang lebih penting adalah bahwa para anggota komunitas sendiri tidak percaya bahwa mereka memiliki kemampuan untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang mereka putuskan berguna untuk mereka, yang sudah dikumpulkan dan dianalasia oleh mereka sendiri.
Pastinya semua yang di atas adalah "topi" untuk semua pekerjaan yang dilakukan oleh penyelenggara, tetapi hal ini kritikal untuk proses PAR dikarenakan "penelitian" biasanya dilihat sebagai survey dari para spesialis dan tidak untuk khalayak "tidak berpendidikan" yang selalu dianggap sebagai obyek penelitian, tidak sebagai peneliti.
Doreen Boyd, UNDP Barbados

PARTISIPASI adalah KUNCI dari PEMBERDAYAAN

oleh Ben Fleming

telah di-edit oleh Phil Bartle, PhD

diterjemahkan oleh Diana Novianti


Partisipasi tidak selalu menuju pada suatu pemberdayaan. Dibutuhkan lingkungan yang mendukung untuk menumbuhkan aspirasi masyarakat dan kemampuan supaya pemberdayaan dapat terjadi. Beberapa cara untuk mencapai ini adalah:
  • Tidak menyepelekan orang. Berikan mereka peralatan untuk dapat mengatur kompleksivitas, mereka tidak perlu untuk dihindari dari hal tsb.
  • Mengelompokkan/ membagi masalah menjadi lebih kecil sehingga mudah untuk dicerna.
  • Mulai dengan masalah dan isu yang berhubungan dengan mereka secara langsung.
  • Untuk tidak memaksakan ide dan solusi pribadi terhadap permasalahan yang ada.
  • Membantu orang-orang untuk memperlebar persepsi mereka akan pilihan-pilihan yang ada dan membantu menjelaskan implikasi-implikasi akan setiap pilihan.
  • Membangun gambaran akan sukses-sukses awal yang dapat diraih untuk mengembangkan keyakinan para partisipan.
  • Kemampuan "jenjang tangga", kepercayaan dan komitmen terhadap proses: tawarkan beberapa pilihan yang progresif akan level keterlibatan dan membantu mereka untuk terus naik ke jenjang yang lebih tinggi.
  • Pelatihan Pemberdayaan Langsung untuk para peserta mungkin tidak terlalu dihargai - mungkin lebih baik untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan secara organik sebagai bagian dari proses.
  • Selama memungkinkan, hindari solusi yang tidak dapat dikembalikan ke situasi semula. Susunlah proses pembelajaran yang interaktif, dengan pilot dan pengalaman yang kecil, cepat, dan dapat dikembalikan.
  • Terus-menerus mengulas dan memperlebar keanggotaan. Ketika ketertarikan-ketertarikan group sudah diketahui, bagaimana untuk menyatukan mereka ke dalam proses?
  • Membantu orang-orang untuk membangun pengertian mereka akan proses pengambilan keputusan yang kompleks dan jarak jauh yang di mana adalah diluar kekuasan dari proses partisipasi tetapi akan mempengaruhi hasil akhir.
  • Membangun network dan aliansi baru.
  • Rencana-rencana harus berarti dan menjurus kepada aksi.
  • Mengatur hubungan antara kemampuan pribadi atas beberapa group yang berbeda untuk menyampaikan komitmen mereka, kepercayaan publik, dan kontrol akan implementasinya.
  • Membangun kesempatan-kesempatan untuk refleksi dan penilaian.
  • Pastikan orang-orang bergembira! (dari «Panduan Partisipasi yang Efektif» oleh David Wilcox)

Sepuluh Ide-ide kunci tentang Partisipasi

1. Level Partisipasi
Sherry Arnstein (1969) menerangkan partisipasi tangga dengan 8 langkah. Secara singkat adalah sebagai berikut: 1. Manipulasi dan 2. Terapi. Non partisipatif. Tujuannya adalah untuk menyembuhkan atau mendidik para partisipan. Ini adalah rencana terbaik dan tujuan dari keikut-sertaan adalah untuk mencapai dukungan publik dari hubungan umum. 3 Pemberitahuan. Ini adalah langkah pertama terpenting untuk partisipasi yang sah. Tetapi yang terlalu sering terjadi adalah adanya penekanan informasi secara satu arah. Tidak adanya saluran untuk pemberian masukan. 4 Konsultasi. Survey-survey tingkah laku, pertemuan-pertemuan antar warga, dan pertanyaan untuk warga umum. Tetapi ritual yang tidak berarti apa-apa.5 Penenangan. Pemilihan beberapa peserta yang berkarya untuk dijadikan komite. 6 Persekutuan. Kekuasaan dibagikan melalu negosiasi antar warna negara dan pemegang kekuasaan. Tanggaung jawab perencanaan dan pembuatan keputusan ditanggung bersama. 7 Utusan Kekuasaan. Warga-warga negara yang merupakan suara terbanyak dalam komite adalah utusan sebagai pembuat keputusan. Masyarakat umu sekarang memiliki kemampuan untuk memastikan berjalannya program-program untuk rakyat. 8 Kontrol Masyarakat. Lainnya mengurus seluruh pekerjaan perencanaan, pembuatan polis, dan mengatur program.

2. Niat dan Proses
Partisipasi tidak terjadi begitu saja, tetapi harus diniatkan. Seseorang harus mengurus prosesnya selama beberapa waktu, dan memperbolehkan yang lain untuk ikut terlibat dalam pengontrolan. Proses ini dijelaskan dalam 4 fase: Permulaan - Persiapan - Partisipasi - Keberlangsungan.

3. Kontrol
Pemulai berada di posisi kuat untuk memutuskan seberapa besar kontrolnya. Keputusan ini sama dengan mengambil langkah dalam tangga - mengambil langkah level partisipasi.

4. Kuasa dan Tujuan
Untuk mengerti akan partisipasi perlu melibatkan pengertian akan kekuasaan: kemampuan akan kepentingan-kepentingan yang berbeda untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Kekuasaan akan bergantung pada siapa yang memiliki informasi dan uang. Kekuasaan juga bergantung pada kepercayaan diri dan kemampuan masyarakat. Banyak organisasi yang tidak mengizinkan orang untuk berpartisipasi karena mereka takut kehilangan kontrol. Namun, ada banyak situasi ketika bekerja sama justru membuat semua orang mencapai lebih daripada ketika mereka bekerja sendiri. Ini menunjukkan keuntungan-keuntungan dari partisipasi.

5. Peran dari Penyelenggara
Penyelenggara banyak mengontrol apa yang terjadi. Penting bagi mereka untuk selalu mengingat bagian yang mereka perankan.

6. Para Pemegang Saham dan Komunitas
Pemegang Saham adalah seseorang yang mengambil bagian/ resiko akan apa yang terjadi. Siapa yang akan terpengaruh oleh proyek-proyek, siapa yang mengontrol informasi, kemampuan, dan uang yang dibutuhkan, siapa yang akan menolong dan siapa yang menghindar? Setiap orang yang terpengaruh tidak memiliki hak suara yang sama. Gunakan piramid/ tangga untuk mencari tahu siapa yang memiliki kekuasaan tertinggi.
Komunitas yang berpartisipasi bergantung pada proyek karena berbeda masyarakat berbeda pula kepentingannya.

7. Persekutuan
Akan sangat berguna ketika beberapa individu dengan kepentingan yang berbeda mau untuk berkumpul bersama secara formal maupun informal untuk mencapai tujuan bersama. Mereka tidak harus sama di dalam kemampuan, finansial, ataupun kepercayaan diri, tetapi mereka harus saling percaya dan mempunyai komitmen yang sama. Membangun suatu kepercayaan dan komitmen membutuhkan waktu.

8. Komitmen
Komitmen adalah sisi lawan dari ketidakacuhan: orang-orang yang berkomitmen ingin untuk mencapai sesuatu, orang apatis tidak. Tetapi apakah yang menggiring menuju komitmen? Dengan tidak meminta orang lain "kalian harus peduli", melainkan mengundang mereka ke pertemuan publik atau mengekspos mereka dengan selebaran menarik. Orang peduli tentang sesuatu yang menarik bagi mereka, dan menjadi berkomitmen ketika mereka merasa dapat mencapai sesuatu. Pemaksaan kehendak tidak akan berhasil. Apabila orang-orang tidak acuh terhadap usulanmu, kemungkinan besar karena mereka tidak mempunyai ketertarikan/ konsern yang sama.

9. Kepemilikan terhadap ide-ide
Kemungkinan besar orang akan berkomitmen untuk mengusung tuntas sesuatu apabila mereka ikut menyumbang ide, atau biarkan mereka berkata "Hal tsb sudah terpikirkan oleh kami". Dalam pelaksanaannya ini berarti mengadakan proses pencarian ide, membantu mereka untuk berpikir akan kepraktisan ide-ide, dan bernegosiasi dengan yang lain akan hasil yang dapat diterima bersama. Keacuhan berbanding lurus dengan keikutsertaan dalam ide dan hasil.

10. Kepercayaan Diri dan Kapasitas
Pelaksanaan ide-ide tergantung akan kepercayaan diri dan kemampuan individu. Banyak dari proses partisipasi mengikutsertaan pembukaan wawasan baru. Adalah tidak realistis untuk mengharapkan para individu atau kelompok kecil secara tiba-tiba mampu untuk membuat keputusan kompleks dan ikut-serta dalam proyek-proyek besar. Mereka membutuhkan pelatihan atau kesempatan untuk belajar secara formal dan informal, untuk membangun kepercayaan diri dan kepercayaan kepada sesama.

Daimbil dari Panduan Partisipasi yang Efektif oleh David Wilcox: http://www.partnerships.org.uk/guide/index.htm

Kamis, 06 Juni 2013

Masalah Kelembagaan Penataan Ruang

Masalah Kelembagaan Penataan Ruang

Written By Dokter Kota on Rabu, 31 Oktober 2012 | 09.10
Masalah kelembagaan dalam Penataan Ruang, lanjutan dari pembahasan mengenai masalah tata ruang lainnya yang sudah di bahas di catatan - catatan sebelumnya yaitu masalah kerugian pribadi akibat tata ruangmasalah tata ruang dari sisi ideologi politik, kekuatan politik, kelestarian lingkungan, pengelolaan pertanahan, penyediaan prasarana, serta yang terakhir sebelumnya menyangkut pendanaan serta penegakan hukum. Masalah tata ruang terkait dengan kelembagaan yaitu sebagai berikut :

  1. Belum efektifnya TKPRD (Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah) Propinsi dan Kabupaten/Kota
    • TKPRD yang terdapat di tingkat Propinsi dan tingkat Kabupaten/Kota selr5ama ini baru berfungsi pada aspek penyusunan rencana tata ruang, itupun belum di semua daerah aktif berperan. Sedangkan pada 2 aspek yang lain dari penataan ruang, yaitu aspek pemanfaatan ruang dan aspek pengendalian pemanfaatan ruang belum nampak peranan TKPRD. Peranan secara aktif dari TKPRD tersebut mutlak diperlukan sejak dari tahap awal yaitu penyusunan perencanaan, pemanfaatan ruang sampai dengan pengendalian pemanfaatan ruang. Kelemahan TKPRD saat ini adalah belum bakunya prosedur kerja dan kewenangan dari tim tersebut di dalam tugasnya sehari - hari.
  2. Partisipasi masyarakat masih kurang
    • Belum difektifkannya peran serta masyarakat dalam setiap tahapan penyusunan rencana tata ruang sampai kepada pelaksanaan/pengetrapan di lapangan. Konsep Participatory Planning mutlak di terapkan di dalam sistem perencanaan saat ini.
  3. Kurangnya koordinasi penataan ruang
    • Koordinasi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang baik secara instansional maupun dengan lembaga masyarakat belum berjalan secara baik. Misalnya, pengaspalan jalan tidak terpadu dengan penanaman kabel telepon, kabel listrik atau pipa air minum. Disamping itu, antar lembaga/instansi pemerintah yang melakukan pengendalian kadang - kadang juga terjadi konflik dan tidak sejalan di dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Misalnya, pada daerah - daerah yang telah ditetapkan sebagai jalur hijau atau pendudukan tanah secara liar (squatters) tetap saja pelayanan fasilitas kota tetap diadakan.
  4. Lemah atau kurangnya wadah/lembaga untuk menampung aspirasi masyarakat
    • Untuk menunjang keberhasilan rencana tata ruang terutama dari tahap penyusunan sampai dengan tahap pengendalian pemanfaatan ruang perlu partisipasi masyarakat. Wadah/lembaga tersebut antara lain dapat berupa organisasi sosial kemasyarakatan maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang khusus aktif di bidang penataan ruang. Sedangkan lembaga - lembaga masyarakat yang ada masih belum berfungsi di dalam partisipasi penataan ruang.
  5. Belum tersedianya sistem informasi tata ruang yang lengkap
    • Di setiap tahapan penataan ruang perlu dukungan sistem informasi yang berkaitan dengan dinamikan penggunaan ruang di lapangan. Sistem tersebut mencakup data, peta, prosedur kerja, perkembangan pemafaatan ruang, penyediaan ruang dan sebagainya.
Itulah masalah kelembagaan dalam penataan ruang.

Jumat, 31 Mei 2013

7 Dosa Kota:

7 Dosa Kota:
 
1. Mau kaya tanpa kerja, mau nikmat tanpa hati nurani


2. Pendidikan tanpa karakter


3. Bisnis tanpa moral


4. Politik tanpa prinsip


5. Hukum tanpa keadilan


6. Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan 


7. Agama tanpa pengorbanan

Sepuluh Prinsip Paradigma Baru Perencanaan Kota



Sepuluh Prinsip Paradigma Baru Perencanaan Kota 

1. Keberlanjutan
Prinsip  menyeluruh yang mengatur Perencanaan Kota   adalah pembangunan berkelanjutan sebagaimana diuraikan di WSSD pada tahun 2002. Ini bukan hak eksklusif dari perencanaan. Kontribusi khusus yang Perencanaan Kota membuat adalah fokus praktis pada mengintegrasikan pertimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan dalam pembangunan pemukiman. Perencanaan Kota memperhitungkan dampak dari perkembangan saat ini pada generasi masa depan, merupakan faktor penting dalam kelestarian lingkungan.

2. Perencanaan terpadu.
Perencanaan kota  terintegrasi perencanaan, tidak hanya perencanaan ekonomi, atau perencanaan fisik, atau perencanaan lingkungan. Terletak di sebuah kerangka kelembagaan yang menguntungkan, perencanaan dan tindakan terintegrasi dapat memberikan efisiensi dan efektivitas dengan menambahkan nilai melalui kebijakan yang mendukung, bukan melemahkan, satu sama lain.

3. Terintegrasi dengan Anggaran
Dalam rangka untuk memastikan integrasi yang disebutkan di atas, rencana perlu mekanisme yang menjamin hubungan yang efektif dengan proses anggaran swasta dan publik. Baik rencana sendiri, maupun proses pasar yang tidak diatur, dapat memberikan pemukiman yang lebih berkelanjutan.

4. Perencanaan dengan Mitra
Perencanaan Kota   merupakan sarana negosiasi di mana dan bagaimana pembangunan yang terjadi. Ini adalah tentang perencanaan dengan semua sektor masyarakat dengan saham di tempat - tidak hanya pemerintah, tetapi juga organisasi sektor swasta, lembaga sukarela dan masyarakat sipil. Perencanaan Kota memupuk kerjasama sukarela antara semua aktor tersebut. Perencanaan yang merespon dan bekerja dengan, tidak mengelola atau mengarahkan, inisiatif aktor-aktor non-pemerintah, akan menghasilkan hasil yang lebih baik. Ini adalah keberangkatan dari gagasan bahwa perencanaan adalah wasit yang berimbang tentang kepentingan publik. Perencanaan New Urban kurang instrumen pemerintah, dan lebih merupakan proses pemerintahan yang baik, untuk memberikan kualitas dan inklusivitas dalam pengambilan keputusan. Perencanaan New Urban selalu mencari cara-cara baru dan lebih baik membuat pembangunan kota yang lebih partisipatif, karena perencanaan kebutuhan didorong lebih dinamis dan lebih efektif, tekanan publik adalah mesin kinerja. Dalam rangka untuk merencanakan dengan mitra, perencanaan harus dibuat bertanggung jawab kepada publik, dengan semua kegiatan terbuka untuk pengawasan publik melalui pengawasan oleh mekanisme seperti dengar pendapat publik, pakta integritas, dan sebagainya.

5. Subsidiaritas
Prinsip subsidiaritas harus diutamakan dalam menentukan mana peran dan tanggung jawab yang bersarang di Perencanaan Kota. Pemerintah nasional memiliki peran penting dalam menetapkan kebijakan pembangunan perkotaan nasional dan mendorong (dan internasional) jaringan infrastruktur nasional yang akan memandu pola pembangunan. Namun, perlu ada desentralisasi, dengan pemerintah daerah memainkan peran utama, dan pemberdayaan organisasi berbasis masyarakat mengenai hal-hal yang dapat ditentukan di tingkat lingkungan. Integrasi kebijakan lintas skala lagi menciptakan efisiensi dan efektivitas. Kebijakan dan rencana harus mengatasi implementasi secara ketat - atau gagal.

6. Permintaan Pasar
Perencanaan Kota memahami permintaan pasar, khususnya di pasar tanah dan properti, dan menyadari dinamika dan potensi sektor informal. Ini responsif, tetapi tidak reaktif. Misalnya, rencana didukung oleh investasi publik dapat menciptakan kepercayaan di daerah di mana aset terancam oleh lemahnya permintaan dan pengurangan investasi. Perencanaan New Urban adalah tentang menciptakan peluang, mengantisipasi dampak pembangunan dan mampu mengurangi risiko hasil yang tidak diinginkan dan eksternalitas yang tidak diinginkan. Pasar akan merespon rencana yang kredibel.

7. Akses ke Lahan
Sebuah persediaan lahan di lokasi yang aman dan dapat diakses untuk memenuhi kebutuhan semua sektor masyarakat, merupakan hal mendasar untuk mencapai pemukiman efisien dan adil. Perencanaan kota tradisional terlalu sering di bawah perkiraan kebutuhan, khususnya masyarakat miskin. Akibatnya sektor paling diuntungkan keamanan kurangnya masyarakat urban, dan sering hidup dalam lokasi berbahaya. Equitable sistem kepemilikan lahan dan pengelolaan lahan harus mendukung Perencanaan Kota. Rencana harus mengakui realitas permukiman kumuh dan informal, serta hak-hak warganya, dan menumbuhkan strategi yang memfasilitasi upgrade.

8. Alat yang tepat
Pengendalian pembangunan harus strategis, terjangkau dan efektif, peka terhadap kebutuhan masyarakat miskin sambil melestarikan sumber daya penting ekologis, daripada berusaha untuk mikro-mengelola lahan menggunakan perubahan dan pembangunan skala kecil. Kontrol penggunaan lahan menyeluruh mungkin hanya terjangkau di negara-negara kaya dengan sistem hukum yang sangat maju dan pasokan profesional terlatih. Perencanaan Kota mengakui bahwa penahanan perkotaan kaku tidak, kebijakan yang adil atau terjangkau layak dalam kondisi urbanisasi. Kontrol penggunaan lahan tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk penggusuran paksa masyarakat miskin perkotaan di komunitas lama mapan.

9. Pro-miskin dan Inklusif
Perencanaan Kota adalah inklusif dan pro-poor. Ia mengakui keragaman dan mempromosikan kesetaraan. Rencana dapat dan harus didorong oleh tujuan dan prioritas seperti yang diungkapkan oleh semua kelompok di kota. Perencanaan adalah tentang menemukan cara untuk mendamaikan prioritas kelompok yang beragam, sekarang dan di masa depan. Perhatian khusus perlu diberikan kepada mereka yang suaranya sering tidak terdengar dalam pembuatan kebijakan publik konvensional - misalnya tua, anak-anak, mereka yang cacat, wanita, etnis minoritas, para tunawisma, mereka yang berpendapatan rendah dll Semua memiliki hak yang sama untuk kota dan hak untuk dikonsultasikan, terutama tentang perkembangan yang akan mempengaruhi mereka. Di masa lalu, pendekatan berbasis wilayah telah terbukti menguntungkan terutama lebih baik: Perencanaan Kota mempertahankan efektivitas daerah-fokus, tetapi langsung menghadapkan kebutuhan ekuitas.

10. Variasi budaya
Budaya pemerintahan dan sumber daya yang dapat diinvestasikan dalam pemerintahan bervariasi antara negara yang berbeda. Interpretasi prinsip-prinsip Perencanaan Kota pasti akan dipengaruhi oleh perbedaan tersebut. Perencanaan New Urban memungkinkan untuk berbagai hasil menurut prioritas budaya dan preferensi: ini kontras dengan keseragaman yang dikenakan oleh model perencanaan master tua. Rezim hukum usang dan budaya birokrasi tradisional, serta kekurangan tenaga terampil dan lembaga responsif merupakan hambatan untuk mewujudkan manfaat dari praktek Perencanaan Kota. Peningkatan pengembangan kapasitas akan menjadi nilai terbaik untuk uang. Ini harus mencakup pengembangan keterampilan untuk sub-profesional dan organisasi berbasis masyarakat dan pelatihan politisi.
Perencanaan Kota adalah perencanaan cerdas karena merupakan sistem pembelajaran responsif. Ini mencakup kebutuhan untuk keterampilan, keahlian, budaya kewirausahaan dan warga negara-terfokus dan berbasis bukti pembuatan kebijakan. Ini menegaskan kembali pentingnya menggabungkan kesadaran jangka panjang dan tindakan praktis jangka pendek. Ini update dengan konteks abad ke-21, wawasan pendiri dari profesi perencanaan bahwa perencanaan adalah tentang 'Folk-Work-Place'. Namun, menolak model teknokratis perubahan sosial dan profesionalisme yang terlalu lama ditetapkan praktik 'tua' perencanaan kota.

Selasa, 21 Mei 2013

Pedoman Pemantauan dan Evaluasi Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota Berbasis Sistem Informasi Geografis

TEORI PERKEMBANGAN KOTA



TEORI PERKEMBANGAN KOTA
A.     TEORI KONSENTRIS (THE CONSENTRIC THEORY)












Teori ini dikemukakan oleh E.W. Burgess (Yunus, 1999), atas dasar tudy kasusnya mengenai morfologi kota Chicago, menurutnya sesuat kota yang besar mempunyai kecenderungan berkembang ke arah luar di semua bagian-bagiannya. Masing-masing zona tumbuh sedikit demi sedikit ke arah luar. Oleh karena semua bagian-bagiannya berkembang ke segala arah, maka pola keruangan yang dihasilkan akan  berbentuk seperti lingkaran yang berlapis-lapis, dengan daerah pusat kegiatan sebagai intinya.
Secara berurutan, tata ruang kota yang ada pada suatu kota yang mengikuti suatu pola konsentris ini adalah sebagai berikut:
a.   Daerah Pusat atau Kawasan Pusat Bisnis (KPB). 
Daerah pusat kegiatan ini sering disebut sebagai pusat kota. Dalam daerah ini terdapat bangunan-bangunan utama untuk melakukan kegiatan baik sosial, ekonomi, poitik dan budaya. Contohnya : Daerah pertokoan, perkantoran, gedung kesenian, bank dan lainnya.
b.   Daerah Peralihan.
Daerah ini kebanyakan di huni oleh golongan penduduk kurang mampu dalam kehidupan sosial-ekonominya. Penduduk ini sebagian besar terdiri dari pendatang-pendatang yang tidak stabil (musiman), terutama ditinjau dari tempat tinggalnya. Di beberapa tempat pada daerah ini terdapat kegiatan industri ringan, sebagai perluasan dari KPB.
c.   Daerah Pabrik dan Perumahan Pekerja.
Daerah ini di huni oleh pekerja-pekerja pabrik yang ada di daerah ini. Kondisi perumahannya sedikit lebih buruk daripada daerah peralihan, hal ini disebabkan karena kebanyakan pekerja-pekerja yang tinggal di sini adalah dari golongan pekerja kelas rendah.
d.   Daerah Perumahan yang Lebih Baik Kondisinya.
Daerah ini dihuni oleh penduduk yang lebih stabil keadaannya dibanding dengan penduduk yang menghuni daerah yang disebut sebelumnya, baik ditinjau dari pemukimannya maupun dari perekonomiannya.
e.    Daerah Penglaju.
Daerah ini mempunyai tipe kehidupan yang dipengaruhi oleh pola hidup daerah pedesaan disekitarnya. Sebagian menunjukkan ciri-ciri kehidupan perkotaan dan sebagian yang lain menunjukkan ciri-ciri kehidupan pedesaan, Kebanyakan penduduknya mempunyai lapangan pekerjaan nonagraris dan merupakan pekerja-pekerja penglaju yang bekerja di dalam kota, sebagian penduduk yang lain adalah penduduk yang bekerja di bidang pertanian.


B.      TEORI SEKTOR


Teori sector ini dikemukakan oleh Homer Hoyt (Yunus, 1991 & 1999), dinyatakan bahwa perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di dalam suatu kota, berangsur-angsur menghasilkan kembali karakter yang dipunyai oleh sector-sektor yang sama terlebih dahulu. Alasan ini terutama didasarkan pada adanya kenyataan bahwa di dalam kota-kota yang besar terdapat variasi sewa tanah atau sewa rumah yang besar. Belum tentu sesuatu tempat yang mempunyai jarak yang sama terhadap KPB akan mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang sama, atau belum tentu semakin jauh letak atau tempat terhadap KPB akan mempunyai nilai sewa yang semakin rendah. Kadang-kadang daerah tertentu dan bahkan sering terjadi bahwa daerah-daerah tertentu yang letaknya lebih dekat dengan KPB mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang lebih rendah daripada daerah yang lebih jauh dari KPB. Keadaan ini sangat banyak dipengaruhi oleh factor transportasi, komunikasi dan segala aspek-aspek yang lainnya.
  1. Pertumbuhan Vertikat, yaitu daerah ini dihuni oleh struktur keluarga tunggal dan semakin lama akan didiami oleh struktur keluarga ganda. Hal ini karena ada factor pembatas, yaitu : fisik, social, ekonomi dan politik.
  2. Pertumbuhan Memampat, yaitu apabila wilayah suatu kota masih cukup tersedia ruang-ruang kosong untuk bangunan tempat tinggal dan bangunan lainnya.
  3. Pertumbuhan Mendatar ke Arah Luar (Centrifugal), yaitu biasanya terjadi karena adanya kekurangan ruang bagi tempat tinggal dan kegiatan lainnya. Pertumbuhannya bersifat datar centrifugal, karena perembetan pertumbuhannya akan kelihatan nyata pada sepanjang rute transportasi. Pertumbuhan datar centrifugal ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
    1. Pertumbuhan Datas Aksial, pertumbuhan kota yang memanjang ini terutama dipengaruhi oleh adanya jalur transportasi yang menghubungkan KPB dengan daerah-daerah yang berada diluarnya.
    2. Pertumbuhan Datar Tematis, pertumbuhan lateral suatu kota tipe ini tidak mengikuti arah jalur transportasi yang ada, tetapi lebih banyak dilatarbelakangi oleh keadaan khusus, sebagai cintih yaitu dengan didirikannya beberapa pusat pendidikan, sehingga akan menarik penduduk untuk bertempat tinggal di daerah sekitarnya. Di lingkungan pusat kegiatan yang beru ii akan timbul suatu suasana perkotaan yang secara administrative mungkin terpisah dari kota yang ada. Oleh karena jarak antara pusast kegiatan yang baru dengan daerah perkotaan yang lama biasanya tidak terlalu jauh, maka pertumbuhan selanjutnya adalah pada pusat yang lama dengan pusat yang baru akan bergabung menjadi satu.
    3. Pertumbuhan Datar Kolesen, perkembangan lateral ketiga ini terjadi karena adanya gabungan dari perkembangan tipe satu dan dua. Sehubungan dengan adanya perkembangan yang terus-menerus dan bersifat datar pada kota (pusat kegiatan), maka mengakibatkan terjadinya penggabungan pusat-pusat tersebut satu kesatuan kegiatan.
Perumusan Kriteria Liveable Cities Yang Terdiri Dari 8 Variabel Dan 35 Kriteria Sebagai Berikut : (Symposium Iap 2008)
  1. Fisik Kota : Tata ruang, arsitektur, RTH, ciri dan karakter budaya lokal
  2. Kualitas Lingkungan : kebersihan kota dan tingkat pencemaran.
  3. Transportasi-Aksesibilitas : angkutan umum, kualitas jalan, waktu tempuh ke tempat aktivtas, pedestrian.
  4. Fasilitas : Fasilitas kesehatan, pendidikan, peribadatan, rekreasi, taman kota.
  5. Utilitas : Air bersih, listrik, telekomunikasi
  6. Ekonomi : tingkat pendapatan, biaya hidup, ramah investasi
  7. Sosial : Ruang publik, ruang kreatif, interaksi sosial, kriminalitas, tingkat kesetaraan warga kota, partisipasi warga, dukungan terhadap orang tua, penyandang cacat, dan wanita hamil.
  8. Birokrasi dan Pemerintahan : Leadership yang kuat, dukungan kebijakan, kepastian hukum, akuntabilitas pemerintah, tingkat penerapan rencana kota, dukungan program pembangunan, dukungan pembiayaan.

C.      TEORI PERTUMBUHAN KOTA 
Menurut Spiro Kostof (1991), Kota adalah Leburan Dari bangunan dan penduduk, sedangkan bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya yang tertentu. Bentuk kota ada dua macam yaitu geometri dan organik.Terdapat dikotomi bentuk perkotaan yang didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu Planned dan Unplanned.
  • Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad pertengahan dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan bentuk geometrik.
  • Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota metropolitan, dimana satu segmen kota berkembang secara sepontan dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut dengan organik pattern, bentuk kota organik tersebut secara spontan, tidak terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan non geometrik.
Elemen-elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh kostol dianalogikan secara biologis seperti organ tubuh manusia, yaitu :
1.        Square, open space sebagai paru-paru.
2.       Center, pusat kota sebagai jantung yang memompa darah (traffic).
3.     Jaringan jalan sebagai saluran arteri darah dalam tubuh.
4.     Kegiatan ekonomi kota sebagai sel yang berfikir.
5.     Bank, pelabuhan, kawasan industri sebagai jaringan khusus dalam tubuh.
6.     Unsur kapital (keuangan dan bangunan) sebagai energi yang mengalir ke seluruh sistem perkotaan.
Dalam suatu kota organik, terjadi saling ketergantungan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Contohnya : jalan-jalan dan lorong-lorong menjadi ruang komunal dan ruang publik yang tidak teratur tetapi menunjukkan adanya kontak sosial dan saling menyesuaikan diri antara penduduk asli dan pendatang, antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Perubahan demi perubahan fisik dan non fisik (sosial) terjadi secara sepontan. Apabila salah satu elemnya terganggu maka seluruh lingkungan akan terganggu juga, sehingga akan mencari keseimbangan baru. Demikian ini terjadi secara berulang-ulang.
Menurut Kevin Lynch (1981), definisi model organik atau kota biologis adalah kota yang terlihat sebagai tempat tinggal yang hidup, memiliki ciri-ciri kehidupan yang membedakannya dari sekedar mesin, mengatur diri sendiri dan dibatasi oleh ukuran dan batas yang optimal, struktur internal dan perilaku yang khas, perubahannya tidak dapat dihindari untuk mempertahankan keseimbangan yang ada, menurutnya bentuk fisik organik :
  • Membentuk pola radial dengan unit terbatas.
  • Memiliki focused centre.
  • Memiliki lay out non geometrik atau cenderung romantis dengan pola yang membentuk lengkung tak beraturan.
  • Material alami.
  • Kepadatan sedang sampai rendah.
  • Dekat dengan alam
Di dalam model organik ini, organisasi ruang telah membentuk kesatuan yang terdiri dari unit-unit yang memiliki fungsi masing-masing. Kota terbentuk organik mudah untuk mengalami penurunan kualitas karena perkembangannya yang spontan, tidak terencana dan sepotong-sepotong. Masyarakat penghuni kota ini bermacam-macam yang merupakan percampuran antara berbagai macam manusia dalam suatu tempat yang memiliki keseimbangan. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, saling menyimpang tetapi juga saling mendukung satu sama lain. Kota organik memiliki ciri khas pada kerjasama pemeliharan lingkungan sosial oleh masyarakat.
D.    TEORI TEORI PERTUMBUHAN KOTA 
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan perubahan suatu kawasan dan sekitarnya sebagai bagian dari suatu kawasan perkotaan yang lebih luas, menurut Gallion dalam buku ¨The Urban Pattern¨ disebutkan bahwa perubahan suatu kawasan dan sebagian kota dipengaruhi letak geografis suatu kota. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perubahan akibat pertumbuhan daerah di kota tersebut, apabila terletak di daerah pantai yang landai, pada jaringan transportasi dan jaringan hubungan antar kota, maka kota akan cepat tumbuh sehingga beberapa elemen kawasan kota akan cepat berubah.
Dalam proses perubahan yang menimbulkan distorsi (mengingat skala perubahan cukup besar) dalam lingkungan termasuk didalamnya perubahan penggunaan lahan secara organik, terdapat beberapa hal yang bisa diamati yaitu :
1. Pertumbuhan terjadi satu demi satu, sedikit demi sedikit atau terus menerus.
2. Pertumbuhan yang terjadi tidak dapat diduga dan tidak dapat diketahui kapan dimulai dan kapan akan berakhir, hal ini tergantung dari kekuatan-kekuatan yang melatar belakanginya.
3. Proses perubahan lahan yang terjadi bukan merupakan proses segmental yang berlangsung tahap demi tahap, tetapi merupakan proses yang komprehensif dan berkesinambungan.
4. Perubahan yang terjadi mempunyai kaitan erat dengan emosional (sistem nilai) yang ada dalam populasi pendukung.
5. Faktor-faktor penyebab perubahan lainya adalah vision (kesan), optimalnya kawasan, penataan yang maksimal pada kawasan dengn fungsi-fungsi yang mendukung, penggunaan struktur yang sesuai pada bangunan serta komposisi tapak pada kawasan. (Cristoper Alexander, A New Theory Of Urban Design, 1987, 14:32-99).
Uraian diatas sesuai dengan kondisi kawasan penelitian yang berada di kawasan bencana alam, yaitu adanya perubahan pola tata ruang lingkungan permukiman (kampung kota) mengarah kepada tatanan kawasan mitigasi bencana alam yang nantinya melalui tahapan proses terus menerus yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan manusianya.
Dalam kaitanya dengan kota dan arsitektur, morfologi memiliki dua aspek yaitu aspek diakronik yang berkaitan dengan perubahan ide dalam sejarah dan aspek sinkronik yaitu hubungan antar bagian dalam kurun waktu tertentu yang dihubungkan dengan aspek lain. Aspek metamorfosis adalah sejarah individual dari bangunan dan kota, kesemuanya harus dilakukan dalam analisis morfologi.
Karya arsitektur merupakan salah satu refleksi dan perwujudan kehidupan dasar masyarakat menurut makna yang dapat dikomunikasikan (Rapoport, 1969). Keseragaman dan keberagaman sebagai ungkapan perwujudan fisik yang terbentuk yaitu citra dalam arti identitas akan memberikan makna sebagai pembentuk citra suatu tempat (place).
Ada tiga komponen struktural yang dapat dikaji (Schultz, 1984) :
„X Tipologi : menyangkut tatanan sosial (sosial order) dan pengorganisasian ruang (spatial organization) yang dalam hal ini menyangkut ruang (space) berkaitan dengan tempat yang abstrak.
„X Morfologi : menyangkut kualitas spasial figural dan konteks wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarki, dan hubungan ruang satu dengan yang lainya.
Tipologi lebih menekankan pada konsep dan konsistensi yang dapat memudahkan masyarakat mengenai bagian-bagian arsitektur. Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometris, sehingga untuk memberi makna pada ungkapan ruang harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu, nilai ruang sangat berkaitan dengan organisasi ruang, hubungan ruang dan bentuk ruang, perwujudan spasial fisik merupakan produk kolektif perilaku budaya masyarakat serta pengaruh ¨kekuasaan¨ tertentu yang melatarbelakanginya.
Karakteristik suatu tempat dalam hal ini penggunaan suatu lingkungan binaan tertentu bukan hanya sekedar mewadahi kegiatan fungsional secara statis, melainkan menyerap dan menghasilkan makna berbagai kekhasan suatu tempat antara lain setting fisik bangunan, komposisi dan konfigurasi bangunan dengan ruang publik serta kehidupan masyarakat setempat.
Perubahan morfologi tidak lepas dari pendukung kegiatan (activity support) karena adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum kawasan dengan seluruh kegiatan yang menyangkut penggunaan ruang yang menunjang keberadaan ruang-ruang umum. Kegiatan dan ruang-ruang umum merupakan hal yang saling mengisi dan melengkapi, keberadaan pendukung kegiatan mulai muncul dan tumbuh, bila berada diantara dua kutub kegiatan yang ada di kawasan tersebut keberadaan pendukung kegiatan tidak lepas dari tumbuhnya fungsi kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang kawasan, semakin dekat dengan pusat kegiatan semaking tinggi intensitas dan keberagaman kegiatan.
 E.   ELEMEN-ELEMEN FISIK KOTA
Dalam desain perkotaan (Shirvani, 1985) terdapat elemen-elemen fisik Urban Design yang bersifat ekspresif dan suportif yang mendukung terbentuknya struktur visual kota serta terciptanya citra lingkungan yang dapat pula ditemukan pada lingkungan di lokasi penelitian, elemen-elemen tersebut adalah :

a.    Tata Guna Tanah
Tata guna lahan dua dimensi menentukan ruang tiga dimensi yang terbentuk, tata guna lahan perlu mempertimbangkan dua hal yaitu pertimbangan umum dan pertimbangan pejalan kaki (street level) yang akan menciptakan ruang yang manusiawi.
Peruntukan lahan suatu tempat secara langsung disesuaikan dengan masalah-masalah yang terkait, bagaimana seharusnya daerah zona dikembangkan, Shirvany mengatakan bahwa zoning ordinace merupakan suatu mekanisme pengendalian yang praktis dan bermanfaat dalam urban design, penekanan utama terletak pada masalah tiga dimensi yaitu hubungan keserasin antar bangunan dan kualitas lingkungan.
Jika kita melihat dilokasi penelitian bisa dilihat dari zona mitigasi tiap-tiap wilayah kaitanya dalam menyiapkan daerah yang masuk dalam wilayah bencana alam siap menghadapinya dan juga membentuk kualitas hidup lingkungan dan bersifat kawasan yang manusiawi.

b.    Bentuk dan Massa Bangunan
Menyangkut aspek-aspek bentuk fisik karena setting, spesifik yang meliputi ketinggian, besaran, floor area ratio, koefisien dasar bangunan, pemunduran (setback) dari garis jalan, style bangunan, skala proporsi, bahan, tekstur dan warna agar menghasilkan bangunan yang berhubungan secara harmonis dengan bangunan-bangunan lain disekitarnya.
Prinsip-prinsip dan teknik Urban Design yang berkaitan dengan bentuk dan massa bangunan meliputi :
1.    Scale, berkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi dan dimensi bangunan sekitar.
2.     Urban Space, sirkulasi ruang yang disebabkan bentuk kota, batas dan tipe-tipe ruang.
3.     Urban Mass, meliputi bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang dapat tersusun untuk membentuk urban space dan pola aktifitas dalam skala besar dan kecil.

c.     SIRKULASI DAN PARKIR
Elemen sirkulasi adalah satu aspek yang kuat dalam membentuk struktur lingkungan perkotaan, tiga prinsip utama pengaturan teknik sirkulasi adalah :
1.   Jalan harus menjadi elemen ruang terbuka yang memiliki dampak visual yang positif.
2.  Jalan harus dapat memberikan orientasi kepada pengemudi dan membuat lingkungan menjadi jelas terbaca.
3.    Sektor publik harus terpadu dan saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.

d.  RUANG TERBUKA
Ian C. Laurit mengelompokkan ruang terbuka sebagai berikut :
1.   Ruang terbuka sebagai sumber produksi.
2.  Ruang terbuka sebagai perlindungan terhadap kekayaan alam dan manusia (cagar alam, daerah budaya dan sejarah).
3.   Ruang terbuka untuk kesehatan, kesejahteraan dan kenyamanan.
Ruang terbuka memiliki fungsi :
1.  Menyediakan cahaya dan sirkulasi udara dalam bangunan terutama di pusat kota.
2.  Menghadirkan kesan perspektif dan visa pada pemandangan kota (urban scane) terutama dikawasan pusat kota yang padat.
3.  Menyediakan arena rekreasi dengan bentuk aktifitas khusus.
4.  Melindungi fungsi ekologi kawasan.
5.  Memberikan bentuk solid foid pada kawasan.
6. Sebagai area cadangan untuk penggunaan dimasa depan (cadangan area pengembangan).

 Aspek pengendalian ruang terbuka pusat kota sebagai aspek fisik, visual ruang, lingkage dan kepemilikan dipengaruhi beberapa faktor :
1.       Elemen pembentuk ruang, bagaimana ruang terbuka kota yang akan dikenakan (konteks tempat) tersebut didefinisikan (shape, jalan, plaza, pedestrian ways, elemen vertikal).
2.      Faktor tempat, bagaimana keterkaitan dengan sistem lingkage yang ada.
3.      Aktifitas utama.
4.      Faktor comfortabilitas, bagaimana keterkaitan dengan kuantitas (besaran ruang, jarak pencapaian) dan kualitas (estetika visual) ruang.
5.      Faktor keterkaitan antara private domain dan public domain.

e.   JALUR PEJALAN KAKI
Sistem pejalan kaki yang baik adalah :
1.       Mengurangi ketergantungan dari kendaraan bermotor dalam areal kota.
2.      Meningkatkan kualitas lingkungan dengan memprioritaskan skala manusia.
3.      Lebih mengekspresikan aktifitas PKL mampu menyajikan kualitas udara.

f.   ACTIVITY SUPPORT
Muncul oleh adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum kota dengan seluruh kegiatan yang menyangkut penggunaan ruang kota yang menunjang akan keberadaan ruang-ruang umum kota. Kegiatan-kegiatan dan ruang-ruang umum bersifat saling mengisi dan melengkapi.
Pada dasarnya activity support adalah :
1       Aktifitas yang mengarahkan pada kepentingan pergerakan (importment of movement).
2       Kehidupan kota dan kegembiraan (excitentent).
 Keberadaan aktifitas pendukung tidak lepas dari tumbuhnya fungsi-fungsi kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang-ruang umum kota, semakin dekat dengan pusat kota makin tinggi intensitas dan keberagamannya.
Bentuk actifity support adalah kegiatan penunjang yang menghubungkan dua atau lebih pusat kegiatan umum yang ada di kota, mislnya open space (taman kota, taman rekreasi, plaza, taman budaya, kawasan PKL, pedestrian ways dan sebagainya) dan juga bangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan umum.

g.            Simbol Dan Tanda
Ukuran dan kualitas dari papan reklame diatur untuk :
1.       Menciptakan kesesuaian.
2.       Mengurangi dampak negatif visual.
3.      Dalam waktu bersamaan menghilangkan kebingungan serta persaingan dengan tanda lalu lintas atau tanda umum yang penting.
4.      Tanda yang didesain dengan baik menyumbangkan karakter pada fasade bangunan dan menghidupkan street space dan memberikan informasi bisnis.
5. Dalam urban design, preservasi harus diarahkan pada perlindungan permukiman yang ada dan urban place, sama seperti tempat atau bangunan sejarah, hal ini berarti pula mempertahankan kegiatan yang berlangsung di tempat itu.

F.             TEORI DESAIN SPASIAL KOTA
Menurut Tracik (1986) dalam suatu lingkungan permukiman ada rangkaian antara figure ground, linkage dan palce. Figure ground menekankan adanya public civics space atau open space pada kota sebagai figure.
Melalui figure ground plan dapat diketahui antara lain pola atau tipologi, konfigurasi solid void yang merupakan elemtal kawasan atau pattern kawasan penelitian, kualitas ruang luar sangat dipengaruhi oleh figure bangunan-bangunan yang melingkupinya, dimana tampak bangunan merupakan dinding ruang luar, oleh karena itu tata letak, bentuk dan fasade sistem bangunan harus berada dalam sistem ruang luar yang membentuknya. Komunikasi antara privat dan publik tercipta secara langsung. Ruang yang mengurung (enclosure) merupakan void yang paling dominan, berskala manusia (dalam lingkup sudut pandang mata 25-30 derajat) void adalah ruang luar yang berskala interior, dimana ruang tersebut seperti di dalam bangunan, sehingga ruang luar yang enclosure terasa seperti interior. Diperlukan keakraban antara bangunan sebagai private domain dan ruang luar sebagai public dominan yang menyatu.
Dalam ¨lingkage theory¨ sirkulasi merupakan penekanan pada hubungan pergerakan yang meruakan kontribusi yang sangat penting. Menurut Fumihiko Maki, Linkage secara sederhana adalah perekat, yaitu suatu kegiatan yang menyatukan seluruh lapisan aktivitas dan menghasilkan bentuk fisik kota, dalam teorinya dibedakan menjadi tiga tipe ruang kota formal, yaitu : Composition form, Megaform dan groupform. Teori linkage yang dapat diterapkan dalam kajian ini adalah group form yang merupakan ciri khas dari bentuk-bentuk spasial kota yang mempunyai kajian sejarah. Linkage ini tidak terbentuk secara langsung tetapi selalu dihubungkan dengan karakteristik fisik skala manusia, rentetan-rentetan space yang dipertegas oleh bangunan, dinding, pentu gerbang, dan juga jalan yang membentuk fasade suatu lingungan perkampungan. Linkage theory ini dapat digunakan sebagai alat untuk memberikan arahan dalam penataan suatu kawasan (lingkungan). Dalam konteks urban design, linkage menunjukkan hubungan pergerakan yang terjadi pada beberapa bagian zone makro dan mikro, dengan atau tanpa aspek keragaman fungsi yang berkaitan dengan fisik, historis, ekonomi, sosial, budaya dan politik (danarti Karsono, 1996).
Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen bentuk dan tatanan masa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan massa bangunan tersebut akan meningkatkan fungsi kehidupan dan makna dari tempat tersebut. Karena konfigurasi dan penampilan massa bangunan dapat membentuk, mengarahkan, menjadi orientasi yang mendukung elemen linkage tersebut.
Bila pada figure ground theory dan linkage theory ditekankan pada konfigurasi massa fisik , dalam place theory ditekankan bahwa integrasi kota tidak hanya terletak pada konfigurasi fisik morfologi, tetapi integrasi antara aspek fisik morfologi ruang dengan masyarakat atau manusia yang merupakan tujuan utama dari teori ini, melalui pandangan bahwa urban design pada dasarnya bertujuan untuk memberikan wadah kehidupan yang baik untuk penggunaan ruang kota baik publik maupun privat.
Pentingnya place theory dalam spasial design yaitu pemahaman tentang culture dan karakteristik suatu daerah yang ada menjadi ciri khas untuk digunakan sebagai salah satu pertimbangan agar penghuni (masyarakat) tidak merasa asing di dalam lingkungannya. Sebagaimana tempat mempunyai masa lalu (linkage history), tempat juga terus berkembang pada masa berikutnya. Artinya, nilai sejarah sangat penting dalam suatu kawasan kota. Aspek spesifik lingkungan menjadi indikator yang sangat penting dalam menggali potensi, mengatur tingkat perubahan serta kemungkinan pengembangan di masa datang, teori ini memberikan pengertian bahwa semakin penting nilai-nilai sosial dan budaya, dengan kaitan sejarah di dalam suatu ruang kota.

 G. KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH PERKOTAAN
Kajian pengembangan wilayah perkotaan di Indonesia selama ini selalu didekati dari aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran dari aktifitas masyarakat suatu wilayah perkotaan dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah dari kegiatan sektoral atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan sektoral tersebut.
Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya konsep pengembanan wilayah perkotaan yang harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah perkotaan yang didasarkan pada penataan ruang.
Kaitan dengan perihal diatas, ada tiga kelompok konsep pengembangan wilayah yaitu konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi fungsional dan konsep pendekatan desentralisasi (Alkadri et all, Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah, 1999). Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam RTRWN.
Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja diantara berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumberdaya manusia.
Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan. Dari kondisi ini muncullah beberapa konsep untuk menanggapi kelemahan tersebut. Konsep tersebut antara lain people center approach yang menekankan pada pembangunan sumberdaya manusia, natural resources-based development yang menekankan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan, serta technology based development yang melihat teknologi sebagai kunci dari keberhasilan pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut kurang berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.
Fenomena persaingan antar wilayah, tren perdagangan global yang sering memaksa penerapan sistem outsourcing, kemajuan teknologi yang telah merubah dunia menjadi lebih dinamis, perubahan mendasar dalam sistem kemasyarakatan seperti demokratisasi, otonomi, keterbukaan dan meningkatnya kreatifitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma dalam pengembangan wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada konsep-konsep yang dijelaskan di atas.
Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri. Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif berupa kekayaan alam berlimpah, upah murah atau yang dikenal dengan bubble economics, sudah usang karena terbukti tak tahan terhadap gelombang krisis. Walaupun teori keunggulan komparatif tersebut telah ber-metamorfose dari hanya memperhitungkan faktor produksi menjadi berkembangnya kebijaksanaan pemerintah dalam bidang fiskal dan moneter, ternyata daya saing tidak lagi terletak pada faktor tersebut (Alkadri etal, 1999).
Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula diperoleh dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara menerus. Menurut Porter (1990) dalam Tiga Pilar pengembangan Wilayah (1999) keunggulan komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun demikian, setiap wilayah masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yakni adanya inovasi untuk pembaruan. Suatu wilayah dapat meraih keunggulan daya saing melalui empat hal yaitu keunggulan faktor produksi, keunggulan inovasi, kesejahteraan masyarakat, dan besarnya investasi.
Apabila dicermati maka paradigma pengembangan wilayah telah bergeser pada upaya yang mengandalkan tiga pilar yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi. Ketiga pilar tersebut merupakan elemen internal wilayah yang saling terkait dan berinteraksi membentuk satu sistem. Hasil interaksi elemen tersebut mencerminkan kinerja dari suatu wilayah. Kinerja tersebut akan berbeda dengan kinerja wilayah lainnya, sehingga mendorong terciptanya spesialisasi spesifik wilayah. Dengan demikian akan terjadi persaingan antar wilayah untuk menjadi pusat spatial network dari wilayah-wilayah lain secara nasional. Namun pendekatan ini mempunyai kelemahan yang antara lain apabila salah didalam mengelola spatial network tadi tidak mustahil menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus diterapkan konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan keseimbangan pertumbuhan dan dikelola oleh Pemerintah Pusat. Konsep pareto ini diharapkan mampu memberikan keserasian pertumbuhan antar wilayah perkotaan dengan penerapan insentif-insentif kepada wilayah perkotaan yang kurang berkembang.

H. INTERGRASI KAWASAN PERTUMBUHAN PERKOTAAN
Kawasan perkotaan di Indonesia tumbuh secara dinamis sejalan dengan dinamika perkembangan demografis, ekonomi dan fisik-spaial. Secara fisik kota tumbuh ekspansif  ke arah luar/pinggiran bahkan melampaui batas wilayah administasi Kota. Dikaitkan dengan keterbatasan daya dukung, terutama lahan dan sumber daya air, kebutuhan sarana-prasarana dasar perkotaan yang semakin meningkat menjadi persoalan yang semakin serius untuk ditangani. Ditinjau dari aspek spasial, struktur dan pola pemanfaatan ruang kota/kawasan perkotaan yang terbentuk cenderung bersifat ekspansif  dan  menunjukkan gejala urban sprawl yang semakin tidak terkendali, mengkonversi lahan-lahan pertanian subur dengan berbagai dampaknya. Hal ini jelas jauh berbeda dengan konsep dan prinsip compact city atau pendekatan kompaksi perkotaan (urban compaction) yang diyakini di negara-negara maju mencerminkan kota yang berkelanjutan. Namun dalam konteks negara berkembang, debat mengenai pengembangan compact city adalah sejauhmana konsep tersebut dapat diterapkan padahal kota-kota di negara berkembang kondisinya jauh berbeda dengan di negara maju,  sebagai manifestasi proses urbanisasi dan perkembangan perkotaan yang berbeda pula.
Kajian empirik yang menyangkut relevansi penerapan kompaksi perkotaan di Indonesia dalam kaitannya dengan aspek keberlanjutan perkotan dapat dikatakan belum pernah dilakukan secara khusus. Dalam kondisi seperti itu, perumusan kebijakan yang menyangkut rencana struktur dan pola ruang kota yang sebagian telah mengarah pada penerapan konsep compact city, seperti banyak dilakukan dalam perencanaan pembangunan perkotaan,  sebenarnya cenderung bersifat spekulatif karena tidak/ belum didukung hasil kajian empirik yang memadai. Dalam hal ini pemahaman terhadap relevansi kompaksi perkotaan untuk diterapkan serta potensi dan kendala penerapannya  belum menjadi landasan bagi pengembangan kebijakan perencanaan tata ruang kota.   
Dalam konteks di atas, yang menjadi persoalan dalam pekerjaan ini adalah belum adanya kajian empirik tentang kompaksi perkotaan sebagai struktur dan pola ruang kawasan perkotaan berkelanjutan yang didasarkan pada keterkaitan antara bentuk perkotaan (urban form) dengan keberlanjutannya  secara ekonomi, sosial dan lingkungan.            
Secara konseptual, kompaksi perkotaan (urban compaction) merupakan alternatif atau strategi untuk mewujudkan stuktur dan pola ruang kawasan perkotaan yang berkelanjutan. Penerapannya dalam konteks pertumbuhan fisik/ kawasan terbangun saat ini di berbagai kota besar atau Kawasan Pertumbuhan Perkotaan yang cenderung ekspansif dengan pola sprawl yang tidak terkendali, mempunyai potensi untuk untuk mengurangi ecological footprint, terutama yang disebabkan oleh  segregasi spasial berbagai aktivitas perkotaan dan implikasinya terhadap kebutuhan transportasi. Sasaran kompaksi perkotaan adalah:
  1. Minimasi/reduksi footprint kota
  2. Perlindungan terhadap penyusutan lahan pertanian
  3. Peningkatan penggunaan transportasi umum
  4. Peningkatan efisiensi kawasan perkotaan
  5. Pengurangan ketidakseimbangan perkembangan kawasan di pusat dan kawasan perumahan di pinggiran kota.