TEORI PERKEMBANGAN KOTA
A.
TEORI KONSENTRIS (THE CONSENTRIC THEORY)
Teori ini dikemukakan oleh E.W. Burgess (Yunus, 1999), atas
dasar tudy kasusnya mengenai morfologi kota Chicago, menurutnya sesuat kota
yang besar mempunyai kecenderungan berkembang ke arah luar di semua
bagian-bagiannya. Masing-masing zona tumbuh sedikit demi sedikit ke arah luar.
Oleh karena semua bagian-bagiannya berkembang ke segala arah, maka pola
keruangan yang dihasilkan akan berbentuk seperti lingkaran yang
berlapis-lapis, dengan daerah pusat kegiatan sebagai intinya.
Secara berurutan, tata ruang kota yang ada pada suatu kota
yang mengikuti suatu pola konsentris ini adalah sebagai berikut:
a. Daerah Pusat atau Kawasan Pusat Bisnis
(KPB).
Daerah pusat kegiatan ini sering disebut sebagai pusat kota.
Dalam daerah ini terdapat bangunan-bangunan utama untuk melakukan kegiatan baik
sosial, ekonomi, poitik dan budaya. Contohnya : Daerah pertokoan, perkantoran,
gedung kesenian, bank dan lainnya.
b. Daerah Peralihan.
Daerah ini kebanyakan di huni oleh golongan penduduk kurang
mampu dalam kehidupan sosial-ekonominya. Penduduk ini sebagian besar terdiri
dari pendatang-pendatang yang tidak stabil (musiman), terutama ditinjau dari
tempat tinggalnya. Di beberapa tempat pada daerah ini terdapat kegiatan
industri ringan, sebagai perluasan dari KPB.
c. Daerah Pabrik dan Perumahan Pekerja.
Daerah ini di huni oleh pekerja-pekerja pabrik yang ada di
daerah ini. Kondisi perumahannya sedikit lebih buruk daripada daerah peralihan,
hal ini disebabkan karena kebanyakan pekerja-pekerja yang tinggal di sini
adalah dari golongan pekerja kelas rendah.
d. Daerah Perumahan yang Lebih Baik
Kondisinya.
Daerah ini dihuni oleh penduduk yang lebih stabil keadaannya
dibanding dengan penduduk yang menghuni daerah yang disebut sebelumnya, baik
ditinjau dari pemukimannya maupun dari perekonomiannya.
e. Daerah Penglaju.
Daerah ini mempunyai tipe kehidupan yang dipengaruhi oleh
pola hidup daerah pedesaan disekitarnya. Sebagian menunjukkan ciri-ciri
kehidupan perkotaan dan sebagian yang lain menunjukkan ciri-ciri kehidupan
pedesaan, Kebanyakan penduduknya mempunyai lapangan pekerjaan nonagraris dan
merupakan pekerja-pekerja penglaju yang bekerja di dalam kota, sebagian
penduduk yang lain adalah penduduk yang bekerja di bidang pertanian.
B.
TEORI SEKTOR
Teori sector ini dikemukakan oleh Homer Hoyt (Yunus, 1991
& 1999), dinyatakan bahwa perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di
dalam suatu kota, berangsur-angsur menghasilkan kembali karakter yang dipunyai
oleh sector-sektor yang sama terlebih dahulu. Alasan ini terutama didasarkan
pada adanya kenyataan bahwa di dalam kota-kota yang besar terdapat variasi sewa
tanah atau sewa rumah yang besar. Belum tentu sesuatu tempat yang mempunyai
jarak yang sama terhadap KPB akan mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang
sama, atau belum tentu semakin jauh letak atau tempat terhadap KPB akan
mempunyai nilai sewa yang semakin rendah. Kadang-kadang daerah tertentu dan
bahkan sering terjadi bahwa daerah-daerah tertentu yang letaknya lebih dekat
dengan KPB mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang lebih rendah daripada
daerah yang lebih jauh dari KPB. Keadaan ini sangat banyak dipengaruhi oleh
factor transportasi, komunikasi dan segala aspek-aspek yang lainnya.
- Pertumbuhan Vertikat, yaitu daerah ini dihuni oleh struktur keluarga tunggal dan semakin lama akan didiami oleh struktur keluarga ganda. Hal ini karena ada factor pembatas, yaitu : fisik, social, ekonomi dan politik.
- Pertumbuhan Memampat, yaitu apabila wilayah suatu kota masih cukup tersedia ruang-ruang kosong untuk bangunan tempat tinggal dan bangunan lainnya.
- Pertumbuhan Mendatar ke Arah Luar (Centrifugal), yaitu biasanya terjadi karena adanya kekurangan ruang bagi tempat tinggal dan kegiatan lainnya. Pertumbuhannya bersifat datar centrifugal, karena perembetan pertumbuhannya akan kelihatan nyata pada sepanjang rute transportasi. Pertumbuhan datar centrifugal ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
- Pertumbuhan Datas Aksial, pertumbuhan kota yang memanjang ini terutama dipengaruhi oleh adanya jalur transportasi yang menghubungkan KPB dengan daerah-daerah yang berada diluarnya.
- Pertumbuhan Datar Tematis, pertumbuhan lateral suatu kota tipe ini tidak mengikuti arah jalur transportasi yang ada, tetapi lebih banyak dilatarbelakangi oleh keadaan khusus, sebagai cintih yaitu dengan didirikannya beberapa pusat pendidikan, sehingga akan menarik penduduk untuk bertempat tinggal di daerah sekitarnya. Di lingkungan pusat kegiatan yang beru ii akan timbul suatu suasana perkotaan yang secara administrative mungkin terpisah dari kota yang ada. Oleh karena jarak antara pusast kegiatan yang baru dengan daerah perkotaan yang lama biasanya tidak terlalu jauh, maka pertumbuhan selanjutnya adalah pada pusat yang lama dengan pusat yang baru akan bergabung menjadi satu.
- Pertumbuhan Datar Kolesen, perkembangan lateral ketiga ini terjadi karena adanya gabungan dari perkembangan tipe satu dan dua. Sehubungan dengan adanya perkembangan yang terus-menerus dan bersifat datar pada kota (pusat kegiatan), maka mengakibatkan terjadinya penggabungan pusat-pusat tersebut satu kesatuan kegiatan.
Perumusan Kriteria Liveable Cities Yang Terdiri Dari 8
Variabel Dan 35 Kriteria Sebagai Berikut : (Symposium Iap 2008)
- Fisik Kota : Tata ruang, arsitektur, RTH, ciri dan karakter budaya lokal
- Kualitas Lingkungan : kebersihan kota dan tingkat pencemaran.
- Transportasi-Aksesibilitas : angkutan umum, kualitas jalan, waktu tempuh ke tempat aktivtas, pedestrian.
- Fasilitas : Fasilitas kesehatan, pendidikan, peribadatan, rekreasi, taman kota.
- Utilitas : Air bersih, listrik, telekomunikasi
- Ekonomi : tingkat pendapatan, biaya hidup, ramah investasi
- Sosial : Ruang publik, ruang kreatif, interaksi sosial, kriminalitas, tingkat kesetaraan warga kota, partisipasi warga, dukungan terhadap orang tua, penyandang cacat, dan wanita hamil.
- Birokrasi dan Pemerintahan : Leadership yang kuat, dukungan kebijakan, kepastian hukum, akuntabilitas pemerintah, tingkat penerapan rencana kota, dukungan program pembangunan, dukungan pembiayaan.
C.
TEORI PERTUMBUHAN KOTA
Menurut Spiro Kostof (1991), Kota adalah Leburan Dari
bangunan dan penduduk, sedangkan bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi
kemudian berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya yang tertentu. Bentuk
kota ada dua macam yaitu geometri dan organik.Terdapat dikotomi bentuk
perkotaan yang didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu Planned dan
Unplanned.
- Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad pertengahan dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan bentuk geometrik.
- Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota metropolitan, dimana satu segmen kota berkembang secara sepontan dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut dengan organik pattern, bentuk kota organik tersebut secara spontan, tidak terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan non geometrik.
Elemen-elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh kostol
dianalogikan secara biologis seperti organ tubuh manusia, yaitu :
1. Square, open
space sebagai paru-paru.
2. Center, pusat kota
sebagai jantung yang memompa darah (traffic).
3. Jaringan jalan sebagai
saluran arteri darah dalam tubuh.
4. Kegiatan ekonomi kota sebagai
sel yang berfikir.
5. Bank, pelabuhan, kawasan
industri sebagai jaringan khusus dalam tubuh.
6. Unsur kapital (keuangan dan
bangunan) sebagai energi yang mengalir ke seluruh sistem perkotaan.
Dalam suatu kota organik, terjadi saling ketergantungan
antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Contohnya : jalan-jalan dan
lorong-lorong menjadi ruang komunal dan ruang publik yang tidak teratur tetapi
menunjukkan adanya kontak sosial dan saling menyesuaikan diri antara penduduk
asli dan pendatang, antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Perubahan
demi perubahan fisik dan non fisik (sosial) terjadi secara sepontan. Apabila
salah satu elemnya terganggu maka seluruh lingkungan akan terganggu juga,
sehingga akan mencari keseimbangan baru. Demikian ini terjadi secara
berulang-ulang.
Menurut Kevin Lynch (1981), definisi model organik atau kota
biologis adalah kota yang terlihat sebagai tempat tinggal yang hidup, memiliki
ciri-ciri kehidupan yang membedakannya dari sekedar mesin, mengatur diri
sendiri dan dibatasi oleh ukuran dan batas yang optimal, struktur internal dan
perilaku yang khas, perubahannya tidak dapat dihindari untuk mempertahankan
keseimbangan yang ada, menurutnya bentuk fisik organik :
- Membentuk pola radial dengan unit terbatas.
- Memiliki focused centre.
- Memiliki lay out non geometrik atau cenderung romantis dengan pola yang membentuk lengkung tak beraturan.
- Material alami.
- Kepadatan sedang sampai rendah.
- Dekat dengan alam
Di dalam model organik ini, organisasi ruang telah membentuk
kesatuan yang terdiri dari unit-unit yang memiliki fungsi masing-masing. Kota
terbentuk organik mudah untuk mengalami penurunan kualitas karena
perkembangannya yang spontan, tidak terencana dan sepotong-sepotong. Masyarakat
penghuni kota ini bermacam-macam yang merupakan percampuran antara berbagai
macam manusia dalam suatu tempat yang memiliki keseimbangan. Masing-masing
memiliki fungsi yang berbeda, saling menyimpang tetapi juga saling mendukung
satu sama lain. Kota organik memiliki ciri khas pada kerjasama pemeliharan
lingkungan sosial oleh masyarakat.
D. TEORI TEORI PERTUMBUHAN KOTA
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan perubahan
suatu kawasan dan sekitarnya sebagai bagian dari suatu kawasan perkotaan yang
lebih luas, menurut Gallion dalam buku ¨The Urban Pattern¨ disebutkan bahwa
perubahan suatu kawasan dan sebagian kota dipengaruhi letak geografis suatu
kota. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perubahan akibat pertumbuhan daerah
di kota tersebut, apabila terletak di daerah pantai yang landai, pada jaringan
transportasi dan jaringan hubungan antar kota, maka kota akan cepat tumbuh
sehingga beberapa elemen kawasan kota akan cepat berubah.
Dalam proses perubahan yang menimbulkan distorsi (mengingat skala perubahan cukup besar) dalam lingkungan termasuk didalamnya perubahan penggunaan lahan secara organik, terdapat beberapa hal yang bisa diamati yaitu :
Dalam proses perubahan yang menimbulkan distorsi (mengingat skala perubahan cukup besar) dalam lingkungan termasuk didalamnya perubahan penggunaan lahan secara organik, terdapat beberapa hal yang bisa diamati yaitu :
1. Pertumbuhan terjadi satu demi satu, sedikit demi sedikit
atau terus menerus.
2. Pertumbuhan yang terjadi tidak dapat diduga dan tidak
dapat diketahui kapan dimulai dan kapan akan berakhir, hal ini tergantung dari
kekuatan-kekuatan yang melatar belakanginya.
3. Proses perubahan lahan yang terjadi bukan merupakan proses
segmental yang berlangsung tahap demi tahap, tetapi merupakan proses yang
komprehensif dan berkesinambungan.
4. Perubahan yang terjadi mempunyai kaitan erat dengan
emosional (sistem nilai) yang ada dalam populasi pendukung.
5. Faktor-faktor penyebab perubahan lainya adalah vision
(kesan), optimalnya kawasan, penataan yang maksimal pada kawasan dengn
fungsi-fungsi yang mendukung, penggunaan struktur yang sesuai pada bangunan
serta komposisi tapak pada kawasan. (Cristoper Alexander, A New Theory Of Urban
Design, 1987, 14:32-99).
Uraian diatas sesuai dengan kondisi kawasan penelitian yang
berada di kawasan bencana alam, yaitu adanya perubahan pola tata ruang
lingkungan permukiman (kampung kota) mengarah kepada tatanan kawasan mitigasi
bencana alam yang nantinya melalui tahapan proses terus menerus yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan manusianya.
Dalam kaitanya dengan kota dan arsitektur, morfologi memiliki
dua aspek yaitu aspek diakronik yang berkaitan dengan perubahan ide dalam
sejarah dan aspek sinkronik yaitu hubungan antar bagian dalam kurun waktu
tertentu yang dihubungkan dengan aspek lain. Aspek metamorfosis adalah sejarah
individual dari bangunan dan kota, kesemuanya harus dilakukan dalam analisis
morfologi.
Karya arsitektur merupakan salah satu refleksi dan perwujudan
kehidupan dasar masyarakat menurut makna yang dapat dikomunikasikan (Rapoport,
1969). Keseragaman dan keberagaman sebagai ungkapan perwujudan fisik yang
terbentuk yaitu citra dalam arti identitas akan memberikan makna sebagai
pembentuk citra suatu tempat (place).
Ada tiga komponen struktural yang dapat dikaji (Schultz,
1984) :
„X Tipologi : menyangkut tatanan sosial (sosial order) dan pengorganisasian ruang (spatial organization) yang dalam hal ini menyangkut ruang (space) berkaitan dengan tempat yang abstrak.
„X Morfologi : menyangkut kualitas spasial figural dan konteks wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarki, dan hubungan ruang satu dengan yang lainya.
„X Tipologi : menyangkut tatanan sosial (sosial order) dan pengorganisasian ruang (spatial organization) yang dalam hal ini menyangkut ruang (space) berkaitan dengan tempat yang abstrak.
„X Morfologi : menyangkut kualitas spasial figural dan konteks wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarki, dan hubungan ruang satu dengan yang lainya.
Tipologi lebih menekankan pada konsep dan konsistensi yang
dapat memudahkan masyarakat mengenai bagian-bagian arsitektur. Morfologi lebih
menekankan pada pembahasan bentuk geometris, sehingga untuk memberi makna pada
ungkapan ruang harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu, nilai ruang sangat
berkaitan dengan organisasi ruang, hubungan ruang dan bentuk ruang, perwujudan
spasial fisik merupakan produk kolektif perilaku budaya masyarakat serta
pengaruh ¨kekuasaan¨ tertentu yang melatarbelakanginya.
Karakteristik suatu tempat dalam hal ini penggunaan suatu
lingkungan binaan tertentu bukan hanya sekedar mewadahi kegiatan fungsional secara
statis, melainkan menyerap dan menghasilkan makna berbagai kekhasan suatu
tempat antara lain setting fisik bangunan, komposisi dan konfigurasi bangunan
dengan ruang publik serta kehidupan masyarakat setempat.
Perubahan morfologi tidak lepas dari pendukung kegiatan
(activity support) karena adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum
kawasan dengan seluruh kegiatan yang menyangkut penggunaan ruang yang menunjang
keberadaan ruang-ruang umum. Kegiatan dan ruang-ruang umum merupakan hal yang
saling mengisi dan melengkapi, keberadaan pendukung kegiatan mulai muncul dan
tumbuh, bila berada diantara dua kutub kegiatan yang ada di kawasan tersebut
keberadaan pendukung kegiatan tidak lepas dari tumbuhnya fungsi kegiatan publik
yang mendominasi penggunaan ruang kawasan, semakin dekat dengan pusat kegiatan
semaking tinggi intensitas dan keberagaman kegiatan.
E. ELEMEN-ELEMEN FISIK KOTA
Dalam desain perkotaan (Shirvani, 1985) terdapat
elemen-elemen fisik Urban Design yang bersifat ekspresif dan suportif yang
mendukung terbentuknya struktur visual kota serta terciptanya citra lingkungan
yang dapat pula ditemukan pada lingkungan di lokasi penelitian, elemen-elemen
tersebut adalah :
a. Tata Guna Tanah
Tata guna lahan dua dimensi menentukan ruang tiga dimensi
yang terbentuk, tata guna lahan perlu mempertimbangkan dua hal yaitu
pertimbangan umum dan pertimbangan pejalan kaki (street level) yang akan
menciptakan ruang yang manusiawi.
Peruntukan lahan suatu tempat secara langsung disesuaikan
dengan masalah-masalah yang terkait, bagaimana seharusnya daerah zona
dikembangkan, Shirvany mengatakan bahwa zoning ordinace merupakan suatu
mekanisme pengendalian yang praktis dan bermanfaat dalam urban design, penekanan
utama terletak pada masalah tiga dimensi yaitu hubungan keserasin antar
bangunan dan kualitas lingkungan.
Jika kita melihat dilokasi penelitian bisa dilihat dari zona
mitigasi tiap-tiap wilayah kaitanya dalam menyiapkan daerah yang masuk dalam
wilayah bencana alam siap menghadapinya dan juga membentuk kualitas hidup
lingkungan dan bersifat kawasan yang manusiawi.
b. Bentuk dan Massa Bangunan
Menyangkut aspek-aspek bentuk fisik karena setting, spesifik
yang meliputi ketinggian, besaran, floor area ratio, koefisien dasar bangunan,
pemunduran (setback) dari garis jalan, style bangunan, skala proporsi, bahan,
tekstur dan warna agar menghasilkan bangunan yang berhubungan secara harmonis
dengan bangunan-bangunan lain disekitarnya.
Prinsip-prinsip dan teknik Urban Design yang berkaitan dengan
bentuk dan massa bangunan meliputi :
1. Scale, berkaitan dengan sudut pandang
manusia, sirkulasi dan dimensi bangunan sekitar.
2. Urban Space, sirkulasi ruang
yang disebabkan bentuk kota, batas dan tipe-tipe ruang.
3. Urban Mass, meliputi bangunan,
permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang dapat tersusun untuk membentuk urban
space dan pola aktifitas dalam skala besar dan kecil.
c. SIRKULASI DAN PARKIR
Elemen sirkulasi adalah satu aspek yang kuat dalam membentuk
struktur lingkungan perkotaan, tiga prinsip utama pengaturan teknik sirkulasi
adalah :
1. Jalan harus menjadi elemen ruang terbuka yang
memiliki dampak visual yang positif.
2. Jalan harus dapat memberikan
orientasi kepada pengemudi dan membuat lingkungan menjadi jelas terbaca.
3. Sektor publik harus terpadu dan
saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
d. RUANG TERBUKA
Ian C. Laurit mengelompokkan ruang terbuka sebagai berikut :
1. Ruang terbuka sebagai
sumber produksi.
2. Ruang terbuka sebagai
perlindungan terhadap kekayaan alam dan manusia (cagar alam, daerah budaya dan
sejarah).
3. Ruang terbuka untuk
kesehatan, kesejahteraan dan kenyamanan.
Ruang terbuka memiliki fungsi :
Ruang terbuka memiliki fungsi :
1. Menyediakan cahaya dan
sirkulasi udara dalam bangunan terutama di pusat kota.
2. Menghadirkan kesan
perspektif dan visa pada pemandangan kota (urban scane) terutama dikawasan
pusat kota yang padat.
3. Menyediakan arena rekreasi
dengan bentuk aktifitas khusus.
4. Melindungi fungsi ekologi
kawasan.
5. Memberikan bentuk solid foid
pada kawasan.
6. Sebagai area cadangan untuk
penggunaan dimasa depan (cadangan area pengembangan).
Aspek pengendalian ruang terbuka pusat kota sebagai
aspek fisik, visual ruang, lingkage dan kepemilikan dipengaruhi beberapa faktor
:
1. Elemen pembentuk
ruang, bagaimana ruang terbuka kota yang akan dikenakan (konteks tempat)
tersebut didefinisikan (shape, jalan, plaza, pedestrian ways, elemen vertikal).
2. Faktor tempat, bagaimana
keterkaitan dengan sistem lingkage yang ada.
3. Aktifitas utama.
4. Faktor comfortabilitas,
bagaimana keterkaitan dengan kuantitas (besaran ruang, jarak pencapaian) dan
kualitas (estetika visual) ruang.
5. Faktor keterkaitan antara
private domain dan public domain.
e. JALUR PEJALAN KAKI
Sistem pejalan kaki yang baik adalah :
1. Mengurangi
ketergantungan dari kendaraan bermotor dalam areal kota.
2. Meningkatkan kualitas
lingkungan dengan memprioritaskan skala manusia.
3. Lebih mengekspresikan
aktifitas PKL mampu menyajikan kualitas udara.
f.
ACTIVITY SUPPORT
Muncul oleh adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang
umum kota dengan seluruh kegiatan yang menyangkut penggunaan ruang kota yang
menunjang akan keberadaan ruang-ruang umum kota. Kegiatan-kegiatan dan
ruang-ruang umum bersifat saling mengisi dan melengkapi.
Pada dasarnya activity support adalah :
Pada dasarnya activity support adalah :
1 Aktifitas yang
mengarahkan pada kepentingan pergerakan (importment of movement).
2 Kehidupan kota dan
kegembiraan (excitentent).
Keberadaan aktifitas pendukung tidak lepas dari
tumbuhnya fungsi-fungsi kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang-ruang
umum kota, semakin dekat dengan pusat kota makin tinggi intensitas dan
keberagamannya.
Bentuk actifity support adalah kegiatan penunjang yang
menghubungkan dua atau lebih pusat kegiatan umum yang ada di kota, mislnya open
space (taman kota, taman rekreasi, plaza, taman budaya, kawasan PKL, pedestrian
ways dan sebagainya) dan juga bangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan
umum.
g.
Simbol Dan Tanda
Ukuran dan kualitas dari papan reklame diatur untuk :
1. Menciptakan
kesesuaian.
2. Mengurangi dampak
negatif visual.
3. Dalam waktu bersamaan
menghilangkan kebingungan serta persaingan dengan tanda lalu lintas atau tanda
umum yang penting.
4. Tanda yang didesain dengan
baik menyumbangkan karakter pada fasade bangunan dan menghidupkan street space
dan memberikan informasi bisnis.
5. Dalam urban design, preservasi harus diarahkan pada
perlindungan permukiman yang ada dan urban place, sama seperti tempat atau
bangunan sejarah, hal ini berarti pula mempertahankan kegiatan yang berlangsung
di tempat itu.
F.
TEORI DESAIN SPASIAL KOTA
Menurut Tracik (1986) dalam suatu lingkungan permukiman ada
rangkaian antara figure ground, linkage dan palce. Figure ground menekankan
adanya public civics space atau open space pada kota sebagai figure.
Melalui figure ground plan dapat diketahui antara lain pola
atau tipologi, konfigurasi solid void yang merupakan elemtal kawasan atau
pattern kawasan penelitian, kualitas ruang luar sangat dipengaruhi oleh figure
bangunan-bangunan yang melingkupinya, dimana tampak bangunan merupakan dinding
ruang luar, oleh karena itu tata letak, bentuk dan fasade sistem bangunan harus
berada dalam sistem ruang luar yang membentuknya. Komunikasi antara privat dan
publik tercipta secara langsung. Ruang yang mengurung (enclosure) merupakan
void yang paling dominan, berskala manusia (dalam lingkup sudut pandang mata
25-30 derajat) void adalah ruang luar yang berskala interior, dimana ruang
tersebut seperti di dalam bangunan, sehingga ruang luar yang enclosure terasa
seperti interior. Diperlukan keakraban antara bangunan sebagai private domain
dan ruang luar sebagai public dominan yang menyatu.
Dalam ¨lingkage theory¨ sirkulasi merupakan penekanan pada
hubungan pergerakan yang meruakan kontribusi yang sangat penting. Menurut
Fumihiko Maki, Linkage secara sederhana adalah perekat, yaitu suatu kegiatan
yang menyatukan seluruh lapisan aktivitas dan menghasilkan bentuk fisik kota,
dalam teorinya dibedakan menjadi tiga tipe ruang kota formal, yaitu :
Composition form, Megaform dan groupform. Teori linkage yang dapat diterapkan
dalam kajian ini adalah group form yang merupakan ciri khas dari bentuk-bentuk
spasial kota yang mempunyai kajian sejarah. Linkage ini tidak terbentuk secara
langsung tetapi selalu dihubungkan dengan karakteristik fisik skala manusia,
rentetan-rentetan space yang dipertegas oleh bangunan, dinding, pentu gerbang,
dan juga jalan yang membentuk fasade suatu lingungan perkampungan. Linkage
theory ini dapat digunakan sebagai alat untuk memberikan arahan dalam penataan
suatu kawasan (lingkungan). Dalam konteks urban design, linkage menunjukkan
hubungan pergerakan yang terjadi pada beberapa bagian zone makro dan mikro,
dengan atau tanpa aspek keragaman fungsi yang berkaitan dengan fisik, historis,
ekonomi, sosial, budaya dan politik (danarti Karsono, 1996).
Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan
elemen bentuk dan tatanan masa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan
massa bangunan tersebut akan meningkatkan fungsi kehidupan dan makna dari
tempat tersebut. Karena konfigurasi dan penampilan massa bangunan dapat
membentuk, mengarahkan, menjadi orientasi yang mendukung elemen linkage
tersebut.
Bila pada figure ground theory dan linkage theory ditekankan
pada konfigurasi massa fisik , dalam place theory ditekankan bahwa integrasi
kota tidak hanya terletak pada konfigurasi fisik morfologi, tetapi integrasi
antara aspek fisik morfologi ruang dengan masyarakat atau manusia yang
merupakan tujuan utama dari teori ini, melalui pandangan bahwa urban design
pada dasarnya bertujuan untuk memberikan wadah kehidupan yang baik untuk
penggunaan ruang kota baik publik maupun privat.
Pentingnya place theory dalam spasial design yaitu pemahaman
tentang culture dan karakteristik suatu daerah yang ada menjadi ciri khas untuk
digunakan sebagai salah satu pertimbangan agar penghuni (masyarakat) tidak
merasa asing di dalam lingkungannya. Sebagaimana tempat mempunyai masa lalu
(linkage history), tempat juga terus berkembang pada masa berikutnya. Artinya,
nilai sejarah sangat penting dalam suatu kawasan kota. Aspek spesifik
lingkungan menjadi indikator yang sangat penting dalam menggali potensi,
mengatur tingkat perubahan serta kemungkinan pengembangan di masa datang, teori
ini memberikan pengertian bahwa semakin penting nilai-nilai sosial dan budaya,
dengan kaitan sejarah di dalam suatu ruang kota.
G. KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH PERKOTAAN
Kajian pengembangan wilayah perkotaan di Indonesia selama ini
selalu didekati dari aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek
sektoral lebih menyatakan ukuran dari aktifitas masyarakat suatu wilayah
perkotaan dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Sementara itu,
kajian aspek spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah dari kegiatan sektoral
atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan sektoral tersebut.
Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial
tersebut mendorong lahirnya konsep pengembanan wilayah perkotaan yang harus
mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu memberi
kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan
kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep
pengembangan wilayah perkotaan yang didasarkan pada penataan ruang.
Kaitan dengan perihal diatas, ada tiga kelompok konsep
pengembangan wilayah yaitu konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi
fungsional dan konsep pendekatan desentralisasi (Alkadri et all, Manajemen
Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah, 1999). Konsep pusat pertumbuhan
menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu
pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang
baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui
proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di
Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam RTRWN.
Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi
yang diciptakan secara sengaja diantara berbagai pusat pertumbuhan karena
adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah
mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah
yang lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak
terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumberdaya manusia.
Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan. Dari
kondisi ini muncullah beberapa konsep untuk menanggapi kelemahan tersebut.
Konsep tersebut antara lain people center approach yang menekankan pada
pembangunan sumberdaya manusia, natural resources-based development yang
menekankan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan, serta technology based
development yang melihat teknologi sebagai kunci dari keberhasilan
pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut
kurang berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.
Fenomena persaingan antar wilayah, tren perdagangan global
yang sering memaksa penerapan sistem outsourcing, kemajuan teknologi
yang telah merubah dunia menjadi lebih dinamis, perubahan mendasar dalam sistem
kemasyarakatan seperti demokratisasi, otonomi, keterbukaan dan meningkatnya
kreatifitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma dalam pengembangan
wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan
sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada
konsep-konsep yang dijelaskan di atas.
Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan yang lebih
besar kepada daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri.
Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan
keunggulan komparatif berupa kekayaan alam berlimpah, upah murah atau yang
dikenal dengan bubble economics, sudah usang karena terbukti tak tahan
terhadap gelombang krisis. Walaupun teori keunggulan komparatif tersebut telah
ber-metamorfose dari hanya memperhitungkan faktor produksi menjadi
berkembangnya kebijaksanaan pemerintah dalam bidang fiskal dan moneter,
ternyata daya saing tidak lagi terletak pada faktor tersebut (Alkadri etal,
1999).
Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula diperoleh
dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara menerus. Menurut
Porter (1990) dalam Tiga Pilar pengembangan Wilayah (1999) keunggulan
komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun demikian, setiap wilayah
masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya
produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yakni adanya inovasi untuk
pembaruan. Suatu wilayah dapat meraih keunggulan daya saing melalui empat hal
yaitu keunggulan faktor produksi, keunggulan inovasi, kesejahteraan masyarakat,
dan besarnya investasi.
Apabila dicermati maka paradigma pengembangan wilayah telah
bergeser pada upaya yang mengandalkan tiga pilar yaitu sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan teknologi. Ketiga pilar tersebut merupakan elemen
internal wilayah yang saling terkait dan berinteraksi membentuk satu sistem.
Hasil interaksi elemen tersebut mencerminkan kinerja dari suatu wilayah.
Kinerja tersebut akan berbeda dengan kinerja wilayah lainnya, sehingga mendorong
terciptanya spesialisasi spesifik wilayah. Dengan demikian akan terjadi
persaingan antar wilayah untuk menjadi pusat spatial network dari
wilayah-wilayah lain secara nasional. Namun pendekatan ini mempunyai kelemahan
yang antara lain apabila salah didalam mengelola spatial network tadi
tidak mustahil menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus
diterapkan konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan keseimbangan
pertumbuhan dan dikelola oleh Pemerintah Pusat. Konsep pareto ini diharapkan mampu
memberikan keserasian pertumbuhan antar wilayah perkotaan dengan penerapan
insentif-insentif kepada wilayah perkotaan yang kurang berkembang.
H. INTERGRASI KAWASAN PERTUMBUHAN PERKOTAAN
Kawasan perkotaan di Indonesia tumbuh secara dinamis sejalan
dengan dinamika perkembangan demografis, ekonomi dan fisik-spaial. Secara fisik
kota tumbuh ekspansif ke arah luar/pinggiran bahkan melampaui batas
wilayah administasi Kota. Dikaitkan dengan keterbatasan daya dukung, terutama
lahan dan sumber daya air, kebutuhan sarana-prasarana dasar perkotaan yang
semakin meningkat menjadi persoalan yang semakin serius untuk ditangani.
Ditinjau dari aspek spasial, struktur dan pola pemanfaatan ruang kota/kawasan
perkotaan yang terbentuk cenderung bersifat ekspansif dan
menunjukkan gejala urban sprawl yang semakin tidak terkendali, mengkonversi
lahan-lahan pertanian subur dengan berbagai dampaknya. Hal ini jelas jauh
berbeda dengan konsep dan prinsip compact city atau pendekatan kompaksi
perkotaan (urban compaction) yang diyakini di negara-negara maju
mencerminkan kota yang berkelanjutan. Namun dalam konteks negara berkembang,
debat mengenai pengembangan compact city adalah sejauhmana konsep
tersebut dapat diterapkan padahal kota-kota di negara berkembang kondisinya
jauh berbeda dengan di negara maju, sebagai manifestasi proses urbanisasi
dan perkembangan perkotaan yang berbeda pula.
Kajian empirik yang menyangkut relevansi penerapan kompaksi
perkotaan di Indonesia dalam kaitannya dengan aspek keberlanjutan perkotan
dapat dikatakan belum pernah dilakukan secara khusus. Dalam kondisi seperti
itu, perumusan kebijakan yang menyangkut rencana struktur dan pola ruang kota
yang sebagian telah mengarah pada penerapan konsep compact city, seperti
banyak dilakukan dalam perencanaan pembangunan perkotaan, sebenarnya
cenderung bersifat spekulatif karena tidak/ belum didukung hasil kajian empirik
yang memadai. Dalam hal ini pemahaman terhadap relevansi kompaksi perkotaan
untuk diterapkan serta potensi dan kendala penerapannya belum menjadi
landasan bagi pengembangan kebijakan perencanaan tata ruang
kota.
Dalam konteks di atas, yang menjadi persoalan dalam pekerjaan
ini adalah belum adanya kajian empirik tentang kompaksi perkotaan sebagai
struktur dan pola ruang kawasan perkotaan berkelanjutan yang didasarkan pada
keterkaitan antara bentuk perkotaan (urban form) dengan
keberlanjutannya secara ekonomi, sosial dan
lingkungan.
Secara konseptual, kompaksi perkotaan (urban compaction)
merupakan alternatif atau strategi untuk mewujudkan stuktur dan pola ruang
kawasan perkotaan yang berkelanjutan. Penerapannya dalam konteks pertumbuhan
fisik/ kawasan terbangun saat ini di berbagai kota besar atau Kawasan
Pertumbuhan Perkotaan yang cenderung ekspansif dengan pola sprawl yang
tidak terkendali, mempunyai potensi untuk untuk mengurangi ecological
footprint, terutama yang disebabkan oleh segregasi spasial berbagai
aktivitas perkotaan dan implikasinya terhadap kebutuhan transportasi. Sasaran
kompaksi perkotaan adalah:
- Minimasi/reduksi footprint kota
- Perlindungan terhadap penyusutan lahan pertanian
- Peningkatan penggunaan transportasi umum
- Peningkatan efisiensi kawasan perkotaan
- Pengurangan ketidakseimbangan perkembangan kawasan di pusat dan kawasan perumahan di pinggiran kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar